my banner link

Rabu, 18 Juli 2012

INILAH MENGAPA MUHAMMADIYAH MEMAKAI SISTEM HISAB DALAM PENETAPAN AWAL BULAN QAMARIYAH?


  

Argumen Muhammadiyah dalam berpegang kepada Hisab seperti yang disampaikan Prof. Dr. Syamsul Anwar, M.A. berikut:
Pertama,semangat Al Qur’an adalah menggunakan hisab. Hal ini ada dalam ayat “Matahari dan bulan beredar menurut perhitungan” (QS. 55:5). Ayat ini bukan sekedar menginformasikan bahwa matahari dan bulan beredar dengan hukum yang pasti sehingga dapat dihitung atau diprediksi, tetapi juga dorongan untuk menghitungnya karena banyak kegunaannya. Dalam QS. Yunus (10) ayat 5 disebutkan bahwa kegunaannya untuk mengetahi bilangan tahun dan perhitungan waktu.

Kedua,jika spirit Qur’an adalah hisab, mengapa Rasulullah Saw menggunakan rukyat? Menurut Rasyid Ridha dan Mustafa Az-Zarqa, perintah melakukan rukyat adalah perintah ber-ilat (beralasan). Ilat perintah rukyat adalah karena ummat zaman Nabi Saw adalah ummat yang ummi, tidak kenal baca tulis dan tidak memungkinkan melakukan hisab. Ini ditegaskan oleh Rasulullah Saw dalam hadits riwayat Al Bukhari dan Muslim, “Sesungguhnya kami adalah umat yang ummi; kami tidak bisa menulis dan tidak bisa melakukan hisab. Bulan itu adalah demikian-demikian. Yakni kadang-kadang dua puluh sembilan hari dan kadang-kadang tiga puluh hari.”

Dalam kaidah fiqhiyah, hukum berlaku menurut ada atau tidak adanya ilat. Jika ada ilat, yaitu kondisi ummi sehingga tidak ada yang dapat melakukan hisab, maka berlaku perintah rukyat. Sedangkan jika ilat tidak ada (sudah ada ahli hisab), maka perintah rukyat tidak berlaku lagi. Yusuf Al Qardawi menyebut bahwa rukyat bukan tujuan pada dirinya, melainkan hanyalah sarana. Muhammad Syakir, ahli hadits dari Mesir yang oleh Al Qaradawi disebut seorang salafi murni, menegaskan bahwa menggunakan hisab untuk menentukan bulan Qamariah adalah wajib dalam semua keadaan, kecuali di tempat di mana tidak ada orang mengetahui hisab.

Ketiga,dengan rukyat umat Islam tidak bisa membuat kalender. Rukyat tidak dapat meramal tanggal jauh ke depan karena tanggal baru bisa diketahui pada H-1. Dr. Nidhal Guessoum menyebut suatu ironi besar bahwa umat Islam hingga kini tidak mempunyai sistem penanggalan terpadu yang jelas. Padahal 6000 tahun lampau di kalangan bangsa Sumeria telah terdapat suatu sistem kalender yang terstruktur dengan baik.

Keempat,rukyat tidak dapat menyatukan awal bulan Islam secara global. Sebaliknya, rukyat memaksa umat Islam berbeda memulai awal bulan Qamariah, termasuk bulan-bulan ibadah. Hal ini karena rukyat pada visibilitas pertama tidak mengcover seluruh muka bumi. Pada hari yang sama ada muka bumi yang dapat merukyat tetapi ada muka bumi lain yang tidak dapat merukyat.  Kawasan bumi di atas lintang utara 60 derajat dan di bawah lintang selatan 60 derajat adalah kawasan tidak normal, dimana tidak dapat melihat hilal untuk beberapa waktu lamanya atau terlambat dapat melihatnya, yaitu ketika bulan telah besar. Apalagi kawasan lingkaran artik dan lingkaran antartika yang siang pada musim panas melebihi 24 jam dan malam pada musim dingin melebihi 24 jam.

Kelima,jangkauan rukyat terbatas, dimana hanya bisa diberlakukan ke arah timur sejauh 10 jam. Orang di sebelah timur tidak mungkin menunggu rukyat di kawasan sebelah barat yang jaraknya lebih dari 10 jam. Akibatnya, rukyat fisik tidak dapat menyatukan awal bulan Qamariah di seluruh dunia karena keterbatasan jangkauannya. Memang, ulama zaman tengah menyatakan bahwa apabila terjadi rukyat di suatu tempat maka rukyat itu berlaku untuk seluruh muka bumi. Namun, jelas pandangan ini bertentangan dengan fakta astronomis, di zaman sekarang saat ilmu astronomi telah mengalami kemajuan pesat jelas pendapat semacam ini tidak dapat dipertahankan.

Keenam,rukyat menimbulkan masalah pelaksanaan puasa Arafah. Bisa terjadi di Makkah belum terjadi rukyat sementara di kawasan sebelah barat sudah, atau di Makkah sudah rukyat tetapi di kawasan sebelah timur belum. Sehingga bisa terjadi kawasan lain berbeda satu hari dengan Makkah dalam memasuki awal bulan Qamariah. Masalahnya, hal ini dapat menyebabkan kawasan ujung barat bumi tidak dapat melaksanakan puasa Arafah karena wukuf di Arafah jatuh bersamaan dengan hari Idul Adha di ujung barat itu. Kalau kawasan barat itu menunda masuk bulan Zulhijjah demi menunggu Makkah padahal hilal sudah terpampang di ufuk mereka, ini akan membuat sistem kalender menjadi kacau balau.

Argumen-argumen di atas menunjukkan bahwa rukyat tidak dapat memberikan suatu penandaan waktu yang pasti dan komprehensif. Dan karena itu tidak dapat menata waktu pelaksanaan ibadah umat Islam secara selaras di seluruh dunia. Itulah mengapa dalam upaya melakukan pengorganisasian sistem waktu Islam di dunia internasional sekarang muncul seruan agar kita memegangi hisab dan tidak lagi menggunakan rukyat. Temu pakar II untuk Pengkajian Perumusan Kalender Islam (Ijtima’ al Khubara’ as Sani li Dirasat Wad at Taqwimal Islami) tahun 2008 di Maroko dalam kesimpulan dan rekomendasi (at Taqrir al Khittami wa at Tausyiyah) menyebutkan: “Masalah penggunaan hisab: para peserta telah menyepakati bahwa pemecahan problematika penetapan bulan Qamariah di kalangan umat Islam tidak mungkin dilakukan kecuali berdasarkan penerimaan terhadap hisab dalam menetapkan awal bulan Qamariah, seperti halnya penggunaan hisab untuk menentukan waktu-waktu shalat.”

Sebagaimana diketahui pada garis besarnya sistem penetapan awal bulan Qamariyah ada dua yaitu hisab dan ru'yah. Kedua sistem ini bermaksud untuk mengamalkan sabda Rasulullah SAW tentang penentuan awal bulan khususnya bulan Ramadhan, Syawwal dan Dzulhijjah, yaitu :
Ru'yatuI hilal yang dalam istilah astronomi disebut observasi secara langsung awal bulan Ramadhan dan awal bulan Syawwal yaitu sabda Rasulullah SAW yang artinya: "Berpuasalah kamu ketika melihat bulan (bulan sabit Ramadhan) dan berbukalah kamu ketika melihat bulan (bulan Syawwal) maka jika mendung hendaklah kamu sempurnakan bulan Sya'ban tiga puluh hari. (hadis ru'yah, dalam Kitab Shahihul al-Bukhari, hadis  yang ke-940). Menurut prinsip ru'yat penentuan awal bulan harus dibuktikan dengan melihat bulan sabit (hilal) di atas ufuk pada hari yang ke 29. Jika hilal tidak berhasil dilihat karena mendung atau tertutup awan maka harus diistikmalkan/disempurnakan 30 hari. Ru'yah berasal dari akar kata ra'a yang artinya melihat dengan mata telanjang sebagaimana di zaman Rasulullah Saw. Jadi golongan ahli ru'yah ini berpatokan kalau sudah melihat bulan sabit (baru), baru hidup bulan (datang bulan baru). Kalau tidak melihat bulan karena mendung atau tertutup awan maka bulan masih belum hidup (masih tanggal 30), sehingga tanggal satu bulan baru pada besok lusa. demikianlah pendapat ulama dari kalangan mazhab Syafi'i antara lain Ibnu Hajar Al Haitami dalam kitab Tuhfah juz ke IIIhal 374 yang intinya mewajibkan puasa dikaitkan dengan ru'yatul hilal yang terjadi setelah terbenam mata hari bukan karena wujudnya hilal walaupun bulan sudah tinggi di atas ufuk kalau bulan tidak terlihat belum masuk bulan baru.

Sistem hisabmenurut Prof. Dr. H. Syamsul Anwar, M.A.yang disampaikan dalam pengajian Ramadhan 1431 H PP Muhammadiyah di Kampus Terpadu UMY. “Hisab yang dipakai Muhammadiyah adalah hisab wujud al hilal, yaitu metode menetapkan awal bulan baru yang menegaskan bahwa bulan Qamariah baru dimulai apabila telah terpenuhi tiga parameter: telah terjadi konjungsi atau ijtima', ijtima' itu terjadi sebelum matahari terbenam, dan pada saat matahari terbenam bulan berada di atas ufuk.”
Pada prinsipnya hisab berdasarkan sistem ijtima, yaitu antara bumi dan bulan berada pada satu garis lurus astronomi. Bulan menyelesaikan satu kali putaran mengelilingi bumi dalam waktu 29 hari 44 menit 27 detik atau satu keliling. Jika ijtima terjadi setelah matahari terbenam pada hari ke 29 maka besoknya terhitung hari yang ke 30 (bulan baru belum wujud), tetapi jika ijtima terjadi sebelum mata hari terbenam hari yang 29 maka besoknya terhitungbulan baru atau tanggal 1. Hisab ini berdasarkan firman Allah Surah Yunus ayat 5 yang artinya :

 "Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan yang demikian itu melainkan dengan hak. Dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada orang-orang yang mengetahui."

Dalam hadis Rasulullah Saw yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim yang artinya: 'Sebenarnya bulan itu dua puluh sembilan hari maka janganlah kamu berpuasa sehingga kamu melihat bulan dan janganlah kamu berhari raya sebelum kamu melihat bulan, jika mendung "kadarkanlah" olehmu untuknya'.
Para ulama berbeda pendapat tentang arti kata-kata "kadarkanlah". Ada yang  menafsirkan sempumakanlah 30 hari. Ada pula yang berpendapat arti "kadarkanlah" tersebut adalah "fa'udduhu bil hisab" artinya kadarkanlah dengan berdasarksn hisab dari pendapat lbnu Rusyd dalam kitabnya Bidayalul Mujtahid. Demikian pula Ibnu Syauraidi Mutarrif dan Ibnu Qulaibah bahwa yang dimaksud "kadarkanlah" ialah dihitung menurut ilmu falak. Ulama Syatriyah yakni Imam Ramli dalam kitabnya Nihayatul Mujtahid Juz III hal. 148 menyatakan: Bahwa bagi ahli hisab dan orang orang yang mempercayainya wajib berpuasa berdasarkan hisabnya. Demikian pula kalau ada orang yang mengaku telah melihat bulan padahal menurut perhitungan hisab bulan belum terwujud maka kesaksian ituditolak (Tuhfah Juz IIIhal. 382). Aliran baru Imam Qalyubi menjelaskan ada 10 pengertian yang dikandung dalam hadis shumu liru'yatihi, diantaranya adalah ru'yah diartikan pada ilmu pengetahuan, maka pendapat ahli hisab tentang bulan atau tanggal dapat diperpegangi (Qalyubi  Juz II hal 49), jadi ru'yah tidak mesti dengan mata telanjang.

Mengapa Muhammadiyah memakai sistem hisab ?


Prinsip yang selalu dianut oleh persyarikatan Muhammadiyah adalah setia mengikuti perkembangan zaman kemajuan sains dan teknologi yang menyelaraskan dengan hukum-hukum Islam. Inilah yang dikenal sebagai tarjih dan pemikiran. Apalagi masalah keumatan khususnya dalam penetapan awal bulan Ramadhan dan Syawal, para ahli hisab Muhammadiyah yang tergabung dalam Majelis Tarjih dan Tajdid telah memberikan pendapatnya kemudian dituangkan dalam surat keputusan pimpinan pusat Muhammadiyah tentang penetapan awal Ramadhan dan Syawal.
Hukum yang ditetapkan Muhammadiyah harus berangkat dari dalil Naqli Al-Qur'an dan As-Sunah Shahihah dan dari acuan pokok tersebut dikembangkan berdasarkan kaedah Ushul Fiqh.
Muhammadiyah dalam penentuan awal bulan menggunakan sistem hisab hakiki wujudul hilalartinya memperhitungkan adanya hilal pada saat matahari terbenam dan dengan dasar Al-Qur'an Surah Yunus ayat 5 di atas dan Hadis Nabi tentang ru'yah riwayat Bukhari. Memahami hadis tersebut secara taabudi atau gairu ma'qul ma'na/tidak dapat dirasionalkan, tidak dapat diperluas dan dikembangkan sehingga ru'yah hanya dengan mata telanjang tidak boleh pakai kacamata dan teropong dan alat-alat lainnya, hal ini terasa kaku dan sulit direalisasikan. Apalagi daerah tropis yang selalu berawan ketika sore menjelang magrib, jangankan bulan, matahari pun tidak kelihatan sehingga ru'yah mengalami gagal total.
Hadis tersebut kalau diartikan dengan Ta'qul ma'naartinya dapat dirasionalkan maka ru'yah dapat diperluas, dikembangkan melihat bulan tidak terbatas hanya dengan mata telanjang tetapi termasuk semua sarana alat ilmu pengetahuan, astronomi, hisab dan sebagainya.  Sebaliknva dengan memahami bahwa hadis ru'yah itu ta'aquli ma'na maka hadis tersebut akan terjaga dan terjamin relevansinya sampai hari ini, bahkan sampai akhir zaman nanti. Berlainan dengan masalah ibadahnya seperti shalat hari raya, itu tidak dapat dirasionalkan apalagi dikompromikan karena ketentuan tersebut sudah baku dari sunnah Rasul. Tetapi kalau menuju ke arah ibadah itudapat diijtihadi, misalnya berangkat haji ke Mekkah silahkan dengan transportasi yang modern tetapi kalau dalam pelaksanaan hajinya sudah termasuk ibadah harus sesuai dengan sunnah Rasul. Dengan pemahaman semacam ini hukum Islam akan tetap up to date dan selalu tampil untuk menjawab tantangan zaman.
Dengan demikian maka Muhammadiyah dalam penentuan awal bulan memakai sistem hisab berdasarkan wujudul hilal. Andaikata ketentuan hisab tersebut berbeda dengan pengumuman pemerintah apakah melanggar ketentuan pemerintah? atau dengan melanggar Al-qur'an surah Annisa ayat 59 "Athiullah wa athi'u ar rasul wa ulil amri minkum". Muhammadiyah tidak melanggar  ketentuan pemerintah dalam soal ketaatan beragama sebab pemerintah membuat pengumuman bahwa hari raya tanggal sekian dan bagi umat Islam yang merayakan hari raya berbeda berdasarkan keyakinannya, makadipersilahkan dengan sama-sama menghormatinya. Jadi pemerintah sendiri sudah menyadari dan mengakomodir perbedaan tersebut. Demikian agar semua menjadi maklum.


Oleh:
Drs. H. Tadjuddin Noor, SH, MH.
Wakil Ketua PW. Muhammadiyah Kalsel

Tidak ada komentar:

Posting Komentar