Melihat kenyataan, terseretnya elite Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dalam pusaran korupsi sangat mengguncang hati nurani warga bangsa. Karena itu wajar hari ini di jejaring sosial dipenuhi ungkapan marah, kecewa dan jijik terhadap mencuatnya kasus, itu karena harapan yang begitu besar sebenarnya. Korupsi bisa jadi ‘lumrah’ jika dilakukan oknum partai lain yang kerap diidentikkan sebagai partai sekuler karena politik bagi sebagian ‘politisi sekuler’ memang melulu soal kekuasaan dan jabatan. Tetapi tidak bagi PKS yang kadung dilabeli sebagai partai dakwah, partai agama.
Tidak tertutup peluang pula, sebagaimana gosip beredar, penangkapan Presiden PKS, Luthfi Hasan Ishaq adalah pengalihan isu dari kasus lain yang lebih besar. Seperti kita ketahui melalui jejaring sosial twitter mengenai dipublish-nya laporan kekayaan keluarga Presiden SBY. Belum lagi mengenai kasus-kasus lain yang belum tuntas semisal Century-gate, BLBI dan penggundulan hutan dengan jumlah kerugian negara jauh lebih besar.
Di atas berbagai argumen tersebut, korupsi tetaplah korupsi. Maka, meski entah LHI dikorbankan, dijadikan sebagai pengalih isu, atau ada koruptor yang lebih besar yang masih dibiarkan, proses hukum terhadapnya harus tetap berjalan. Hanya sikap legowo PKS atas kenyataan itulah sebenarnya yang dapat mempertahankan kepercayaan sebagian simpatisan PKS, juga bagi PKS sendiri akan menjadi alat pembersih internal, sebagai mekanisme dari Tuhan, sesuai sabda-NYA: Liyamiizallahul khabiitsa min at thayyib, ‘Supaya Allah memisahkan yang buruk dari yang baik,” (Al Anfal: 37).
Ketidakseimbangan
Sudah menjadi rahasia umum bahwa di internal PKS memang terpolar menjadi dua: kubu ‘Keadilan’ dan kubu ‘Kesejahteraan’.
Kubu keadilan adalah mereka yang tetap mempertahankan prinsip-prinsip dan asas Islam seperti kejujuran, zuhud, membaur dengan masyarakat dengan tidak memperuncing perbedaan khilafiah. Mereka yang tidak menjadikan kemenangan sebagai tujuan, karena berpolitik murni sebagai salah satu upaya memenuhi kewajiban yang Allah sendiri yang berhak menentukan menang kalahnya. Dengan begitu menang kalah tidak jadi soal karena buka itu yang Allah lihat.
Sebaliknya ‘faksi kesejahteraan’ lebih mudah terjebak pada kemewahan dan perlombaan kekayaan. Ada istilah uang rakyat atau uang negara yang tidak jelas kehalalannya bagi mereka alias syubhat yang kadang dengan sembrono dipelesetkan sebagai harta ‘ghanimah’ yang karena itu boleh mereka ambil sebagai hadiah bagi diri mereka sendiri. Alasan pembenar selalu bisa dicari, karena ingin jadi ‘Robin Hood’ bagi perjuangan partai, apapun bisa dilakukan demi partai. Sikap beginilah yang memicu kekalahan, sebab Allah tidak akan ridha, tidak akan menerima perjuangan kecuali hanya yang dilakukan dengan tujuan dan cara yang baik-baik saja.
Di sisi lain, PKS juga dikenal sebagai wadahnya kalangan yang menganjurkan poligami. Salah seorang pendiri partai tersebut, Yusuf Supendi bahkan telah jauh hari mengingatkan bahwa poligami tiga elite PKS bermasalah, namun kemudian ia justru tersingkir. Setelah penangkapan LHI, Yusuf menyatakan bisa jadi korupsi terkait daging sapi impor benar adanya untuk operasional partai maupun untuk membiayai kehidupan keluarga LHI dengan ketiga istrinya.
Pada permasalahan ini, selain argumen poligami yang terkesan hanya untuk membenarkan keinginan memiliki isteri banyak, para elite partai yang sudah kelewat sejahtera itu lupa bahwa masih banyak umat di level bawah yang terpaksa berzina karena tidak kunjung mampu menikah. Padahal sebagaimana etika politisi Islam, kebutuhan rakyat harus didahulukan daripada kepentingan pribadi dan keluarga. Apalagi yang sifatnya kebutuhan ‘pemuas’ yaitu terus menambah jumlah isteri dan pundi kekayaan lain, sementara kebutuhan tersebut yang bagi segolongan lainnya adalah sangatdharuriy (sangat urgen, darurat) belum juga terpenuhi. Tetapi pula, lagi-lagi meski sudah punya istri lebih dari satu, tetap masih saja tersandung gratifikasi seks.
Pupus sudah harapan rakyat pada politik Islam yang katanya bisa menjadi alternatif. Disinyalir jika tidak ada perubahan luar biasa pada partai-partai Islam, maka menghadapi Pemilu 2014 Islam politik akan semakin compang-camping. Dengan kasus yang menohok tersebut, PKS masih bisa diselamatkan, yaitu dengan kembali pada khittah-nya sebagai partai dakwah yang harus tercermin dari sikap propagandis sampai elite-nya yang bisa diterima umat, tidak sebagaimana sering terjadi di mana mereka malah menolak umat, merebut masjid dan mengganti total seluruh ta’mirnya karena perbedaan khilafiah.
Hukum tetap harus tegak tanpa memandang siapa pelakunya, karena justru sikap pilih-pilih penegakan hukum itulah yang disabdakan oleh Nabi menjadi penyebab hancurnya semua kaum terdahulu. Dengan begitu juga maka perjuangan golongan yang ikhlas membesarkan partai sebagai sarana dakwah tidak sia-sia.
Fathurrahman
source: hminews.com (title edited)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar