Dalam konteks itulah kita dapat memahami kembali pernyataan Imam Ghazali bahwa emas dan perak adalah hakim muamalat yang paling adil. Emas dan perak tidak dapat dimanipulasi. Nilai tukarnya bukan saja universal tetapi juga tak pernah berubah. Secara alamiah emas dan perak tidak mengandung inflasi. Fluktuasi nilai tukarnya, kalau terjadi, hanya bersifat sementara dan sepenuhnya akibat dari berlakunya hukum pasokan-permintaan, dan selalu dalam kaitannya dengan komoditas lain. Peningkatan harga emas dan perak yang kita lihat saat ini adalah akibat kaca mata kita yang terbalik, memandangnya dari penurunan nilai mata uang kertas.
Dalam sistem uang kertas, yang memungkinkan penggelembungan terus menerus, untuk memenuhi nafsu manusia -dalam syariat kita sebut riba- krisis finansial dan moneter adalah keniscayaan. Dalam sistem mata uang bimetalik (emas dan perak) krisis semu semacam ini tidak pernah kita kenal. Karenanya secara naluriah setiap kali menghadapi krisis kesadaran manusia akan kembali kepada sang hakim adil di atas, yaitu emas dan perak.
Kaum muslim sungguh beruntung, sebagaimana Ibnu Khaldun menyatakannya, bahwa Allah Subhanahu wa tala menciptakan emas dan perak ini dan mengajarkan kepada kita, melalui Rasul salallahu alaihi wassalam, sebagai alat tukar yang sah. Dinar dan Dirham telah dibakukan dan ditetapkan dalam syariat Islam sebagai alat tukar, alat bayar denda, alat menghitung dan membayar zakat mal, sebagai timbangan atas nilai, meskipun sempat hampir seabad lamanya kita lupakan dan abaikan.
Sampai saat ini telah sekitar satu dasawarsa Dinar emas dan Dirham perak kembali beredar, juga di Indonesia. Setiap hari jumlah koin dan pemakainya bertambah. Persebarannya juga semakin luas. Maka, dengan kehendak Allah Subhanahu wa tala, kembalinya sang hakim adil ini menjadi alat tukar universal, menjadi mata uang dunia, hanyalah soal waktu. Dulu pernah terjadi, dan kelak juga akan terjadi kembali.

Dalam prototipe koin emas yang diusulkan Sassoli lewat Medvedev ini tertulis satuan ‘1′, dan bukan angka nominal seperti uang kertas, dengan kata-kata ‘unity in diversity‘ di satu sisi dan ‘united future world currency’ di sisi lain, dengan ornamen selembar daun bersisi lima. Koin ini dicetak oleh Royal Belgian Mint. Perancangnya dua orang, yaitu Luc Luycx, perancang sisi umum koin euro, dan Laura Cretara, mantan pekerja di Italian State Mint. Koin emas ini berdiameter 29 mm dengan berat 15.55 gram, emas murni (24 Karat).
Adakah kemiripan dengan Dinar emas? Tentu saja. Koin emas Sassoli ini dinilai berdasarkan timbangannya, nilai intrinsiknya, dan bukan nilai nominalnya. Dilihat dari standarnyapun sangat compatible dengan Dinar. Berat koin ini adalah 15.55 gram, atau 0.5 troy ounce, dengan kadar 24 Karat. Ini senilai dengan 4 koin Dinar (17 gram), dalam kadaar yang sekarang, emas 22 Karat. Dengan kata lain 1 Dinar sama dengan 1/4 ‘Koin Sassoli’. Dengan demikian keduanya akan dapat dipertukarkan secara paralel. Hukum pertukaran (dalam hal ini emas dengan emas) mensyaratkan kesetaraan dalam jumlah dan kadar, dan secara kontan.
Jelaslah, bila koin Sassoli ini benar-benar direalisasikan dan diterima secara internasional, misalnya benar Medvedev menindaklanjutinya secara resmi, secara otomatis itu berarti penerimaan secara universal Dinar emas. Tetapi sebaliknya, kalaupun ide Sassoli di atas tidak menjadi kenyataan, umat Islam telah berada di depan. Dan kita, atas bimbingan Shaykh Abdalqadir as-Sufi dan murid utamanya, Umar Ibrahim Vadillo, sejak satu dasawarsa lalu, telah mulai mewujudkannya.
source: zaim saidi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar