my banner link

Sabtu, 06 Maret 2010

Bebener yang Dibuat Sungsang Bawana Balik

image 

DIANGGEP bener tidak selalu karena telah berbuat benar. Dianggep salah juga tidak melulu karena telah bertindak keliru. Selalu berusaha berbuat bener bisa saja ujungnya selalu ora kepeneran. Bener dianggep keliru, luput dianggep bener pun makin jamak terjadi.

Dalam kisah pewayangan, apa yang salah ketika Sukasrana menyusul kakaknya, Sumantri, yang hendak menjadi urban di Kotapraja Maespati? Apa salah si buruk rupa namun berhati berlian itu ketika merasa tak bisa ginggang sarambut pinara sasra dari sang kakak yang tampan rupawan?

Pastilah, dalam ukuran kewajaran, tidak ada yang salah. Mencintai saudara dengan sepenuh jiwa dan ingin selalu bersama dengannya pastilah sikap mulia. Lebih-lebih ketika menyediakan diri untuk selalu memanggul setiap bot-repot yang dipikul sang kakak.

Namun ukuran kewajaran itu tidak begitu berlaku bagi Sumantri. Ambisi untuk bisa tampil hero seorang diri di hadapan banyak orang, terutama atasan, telah membutakan mata hati untuk melihat setiap kemuliaan yang didermakan dengan tulus oleh Sukasrana.

Sukasrana selalu dianggap sebagai klilip, kalau bukan malah rintangan yang hanya nyandhung-nyrimpeti. Karena itu, setiap sumbang sih-nya akan selalu dipandang ora pener.

Puncaknya ketika Sukasrana menyembul di antara perdu Taman Sriwedari, buah karyanya sendiri. Sumantri merasa penampakan Sukasrana adalah sebuah aib di tengah serbagemerlap kuasa negeri Maespati. Sumantri panik. Sumantri cemas citra sempurna yang telah ia bangun bakal sirna oleh kehadiran Sukasrana si buruk rupa.

Sumantri lupa bahwa adiknyalah yang telah memutar taman itu hingga ia dapat memenuhi titah sang raja. Namun segala jasa Sukasrana terkubur dalam-dalam oleh anggapan yang dibangun di atas ambisi akan kekuasaan yang hendak ia amankan. Sumantri menghunus keris dan mengarahkan ujungnya ke tubuh Sukasrana. Para dalang kerap kali menyebut Sumantri sekadar ngagak-agaki, meden-medeni, menakut-nakuti agar Sukasrana pergi.

Toh, Sukasrana tetap bergeming. Tajamnya keris tak menghalanginya untuk merapat dan dekat dengan sang kakak. Justru pada ujung keris itulah Sukasrana mengabarkan kepada semua bahwa cinta dan keterusterangannya bakal menjelma jadi keabadian.

Dusta Nagagini

Soal kebenaran yang dipersalahkan, kesalahan yang dicarikan pembenaran, kisah Anglingdarma bisa menjadi cerminnya. Tatkala lelana brata masuk di hutan belantara, dia justru mendapati Nagagini, istri Nagaraja sahabatnya, tengah memadu kasih dengan Ula Tampar.

Melihat perselingkuhan itu, dia merasa tak bisa berdiam diri. Dijemparinglah sang pecundang Ula Tampar hingga mengenai bagian buntut. Upaya itu dimaksudkan sebagai usaha untuk mengingatkan Nagagini sekaligus menghukum Ula Tampar yang telah ngrusak pager ayu.

Namun tindakan Anglingdarma bukannya membuat Nagagini sadar, melainkan justru  mendorongnya wadul kepada sang suami. Dhandhang diunekake kuntul, kuntul diunekake dhandhang; hitam dikatakan putih, sebaliknya putih dikatakan hitam.

Kepada suaminya, Nagagini berkata bahwa Anglingdarma berniat menjamahnya. Adapun Ula Tapar yang hendak mengingatkan, justru dijemparing oleh Raja Malawapati itu.

Tentu saja sikap Nagagini membuat Anglingdarma berkecil hati. Ia tidak membayangkan jika Nagaraja yang telah direngkuh sebagai kakaknya itu murka, pastilah dia akan lebur tanpa dadi.

Karena itu, di tamansari Malawapati, kepada Setyawati permaisurinya, Anglingdarma bercerita tentang hal yang sebenarnya, sekaligus berpamitan karena marasa tak lama akan menemui ajal. Sementara di luar terdengar suara keras Nagaraja memanggil-manggil agar Anglingdarma segera keluar menemui.

Setelah beberapa saaat, dengan segenap keputusasaan, keluarlah Anglingdarma dari tamansari guna menemui Nagaraja. Namun di luar dugaan, Nagaraja justru menyambut adiknya itu dengan pelukan hangat. Kepada Anglingdarma, Nagaraja malahan menganugerahkan Aji Gineng, yakni ajian yang membuat pemiliknya bisa memahami bahasa segala binatang.

Ternyata sebelum memanggil-manggil, dengan menyamar sebagai ular picis, Nagaraja telah menyadap pembicaraan Anglingdarma dengan Setyawati. Dari situlah ia tahu, apa yang dikatakan oleh istrinya dusta belaka.

Persekongkolan

Pemutarbalikan kebenaran, sebagaimana yang dilakukan oleh Nagagini,  kerapkali tidak hanya dilakukan oleh seorang diri. Ada yang menjadi perancang skenario, ada yang kemudian menjalankannya.

Pada lakon ketoprak Bayi Lair Sajroning Kubur yang dimainkan oleh grup Sapta Mandala Yogyakarta kiranya menandaskan hal itu. Jayengkusuma, putra mending Prabu Ranggajaya dari prameswari yang telah meninggal dan Jayengrasa, putra garwa prameswari sambungan (Asmarawati), terlibat dalam kompetisi untuk memegang tampuk pemerintahan Jenggala. Syaratnya, bisa mempersembahkan Keris Nagarunting Luk Sanga.

Keris itu berada di Pertapan Tegalwening. Jayengrasa terlebih dahulu sampai di situ, bertemu dengan Retnasih, anak pertapa pemilik keris sakti itu. Malahan Jayengrasa jatuh cinta pada Retnasih, namun endang pertapan itu menolak halus. 

Selang beberapa saat datanglah Jayengkusuma, bertemu sang pertapa dan mendapatkan Keris Nagarunting serta mempersunting Retnasih. Jayengkusuma pun bertakhta dan menjadikan Retnasih sebagai permaisuri.
Tak lama setelah bertakhta, datanglah pasukan Prabu Gajah Angun-angun yang hendak menaklukkan Jenggala. Prabu Jayengkusuma berangkat ke medan laga dan meninggalkan Retnasih di keraton.

Itulah saat yang ditunggu oleh Asmarawati dan Jayengrasa yang merasa cintanya ditolak oleh Retnasih. Mereka menyiksa Retnasih yang sedang mengandung. Ujung-ujungnya Retnasih meninggal. Jasadnya dikubur di sebuah pemakaman jauh dari keraton.

Ketika Jayengkusuma pulang dari medan laga, tentu saja Asmarawati yang ditopang oleh Patih Basunanda memutarbalikkan fakta yang sebenarnya. Namun dengan kemunculan bayi yang lahir dalam kuburan, akhirnya terkuaklah persekongkolan itu.

Ya, siapa pun meski selalu gandrung pada kebenaran, bisa kena awu anget sebagaimana yang dialami oleh Anglingdarma ataupun Retnasih. Namun dalam sungsang bawana balik kebenaran macam apa pun, tetap saja berlaku hukum ”becik kettitik ala ketara”, ”sapa salah seleh”, dan ”tekuk runtut janaloka, sapa wani luput bakal ketiban pidana”. 
—Sucipto Hadi Purnomo, dosen Pendidikan Bahasa dan Sastra Jawa FBS Universitas Negeri Semarang
Source: Suara Merdeka

Tidak ada komentar:

Posting Komentar