Senin, 12 Maret 2007, Dukuh-Atas Hari itu, sama seperti hari-hari biasanya. Kepulangan ku menuju rumah di bilangan bintaro, tangerang, terpaksa tertunda. Hal ini disebabkan oleh terlambatnya kereta api ekspres jurusan serpong, hingga aku pun bergumam, “Ah.dasar Indonesia. Mana ada sih transportasi yang on-time.”
18. 45 WIB Tiga puluh delapan menit berlalu sudah dari yang seharusnya kereta api itu telah sampai di tempatku berdiri saat ini. Pemandangan stasiun kali itu terllihat lebih lengang, tidak ‘sesumpek’ biasanya. Ada kemungkinan sebagian besar penumpang telah terangkut di pemberangkatan sebelumnya, pukul 18. 05. “Yah..gak apa-lah. Telat-telat juga, yang penting aku berpeluang mendapat duduk di kereta ekspres pemberangkatan terakhir itu… “, dan aku pun menunggu kembali.
18. 48 WIB “Duhh… Lapar”, tiba-tiba saja desakan organ-organ lambungku yang sudah setengah hari ini belum mendapat suplai makanan, memaksa mataku untuk memandang ke sekeliling stasiun, mencari tempat-tempat yang menyediakan penganan ringan, “Hmm.uangku terbatas nih. Beli apa ya?” Kebingunganku di dalam memilih makanan saat itu sebenarnya didasari oleh konsep hidupku. Akhir-akhir ini aku sedang berusaha untuk disiplin di dalam berbagai hal, termasuk masalah pengeluaran uang. Budget-ku pada hari itu tinggal-lah ongkos untuk pulang ‘plus’ seribu-dua ribu yang dapat aku gunakan untuk jajan cemilan (walau aku juga membawa uang lebih untuk keperluanyanglain, tapi aku berusaha untuk tidak menggunakannya). Karenanya, aku mencoba mencari makanan dengan harga yang sesuai.
“Eh ada keripik pedas tuh!”, sebuah cemilan cekung berwarna merah yang terpampang di sudut kiri atas etalase sebuah warung kecil, telah mencuri hatiku untuk mendekatinya. Aku yakin bahwa harganya pastilah tidak terlampau mahal, karena dari ukuran bungkusannya pun juga kecil. Dan benar saja, dengan berbekal uang Rp 1500; sekantong kecil keripik pedas ‘plus’ segelas air mineral telah berpindah ke tanganku. Maka tak lama kemudian, sekeping-dua keping keripik pedas dan beberapa seruputan air mineral perlahan mulai masuk ke dalam mulutku, berayun dan berhimpitan didalamnya disebabkan oleh gencarnya gigi dan lidah-ku mencengkramnya. “Ahh.alhamdulillah.nikmatnya ”
18. 50 WIB “Kepada para penumpang kereta api ekspres jurusan serpong, di informasikan bahwa kereta api masih terhambat di stasiun manggarai. Kereta sedang dalam perbaikan AC. Kami mohon maaf atas keterlambatan ini dan kepada para penumpang diharap untuk bersabar.” Sebuah pengumuman keras melalui speaker stasiun mengusik keasyikan prosesi ‘ngemil’ yang sedang kujalani. Ya, sekali lagi aku harus sabar menunggu. Karena untuk berpindah ke jenis kendaraan lain aku harus menggunakan jalur bis Blok M – Bintaro yang justru akan memakan waktu lebih lama lagi, sekitar 2x waktu perjalanan menggunakan kereta api.
Maka aku pun kembali melanjutkan aktivitas ngemilku, sambil sesekali menengok kekiri dan kekanan, sekedar melihat suasana sekeliling. “Tetap sepi”, bisikku pada diri sendiri. “Hmm.asyik juga untuk merenung nih, sambil….”, belum selesai ku keluarkan bisikan-bisikan kecilku, aku tertegun pada sebuah sosok yang berada tidak jauh dari posisiku. Seorang remaja tanggung dengan usia sekitar 10 – 12 tahun, terduduk dan tertunduk sambil memainkan kaki tanpa alasnya di atas aspal statisiun. Aku bukannya tidak tahu sama sekali akan kehadirannya. Sebelum terduduk di kursi panjang tempatku bersantai saat itupun, aku sudah tahu bahwa ada orang di sampingku. Namun yang aku kritisi ialah aku tidak memperhatikan dengan jelas siapa orang itu, dan lagi aku hanya asyik makan dan minum sendiri sementara disebelahku ada orang lain, yang bila kutebak, keadaanya tidak lebih baik dariku (saat itu). Ia adalah seorang penyapu kereta, ini terlihat dari tangan kirinya yang memegang sapu bertangkai rendah.
Dengan sehelai baju tipis dan celana pendek selutut yang melekat di tubuhnya, ia terlihat kuyu dan agak lemas. Barangkali pada sore itu ia belum makan dan ini sangat mungkin sekali. Baginya, barangkali penghasilan yang didapat masih lebih baik ditabung untuk keperluan di rumahnya ketimbang membeli makanan, yang sepertinya ia masih dapat menahan rasa laparnya
Dan akupun bermaksud mengambil kembali penganan, persis seperti apa yang kubeli sebelumnya di warung yang tidak jauh posisi dudukku saat itu, untuk diberikan kepada pemuda tanggung itu. Namun sebelum aku bertindak, sebuah keraguan datang menghampiri, “Wah.kalau aku membelikan untuknya, aku harus keluar uang lagi dong. Seribu lima ratus memang bukan uang yang terlalu besar sih. Tapi, aku kan sudah janji untuk disiplin dengan budget harian ku. Hmm.bagaimana ya?”
Dan akupun bermaksud mengambil kembali penganan, persis seperti apa yang kubeli sebelumnya di warung yang tidak jauh posisi dudukku saat itu, untuk diberikan kepada pemuda tanggung itu. Namun sebelum aku bertindak, sebuah keraguan datang menghampiri, “Wah.kalau aku membelikan untuknya, aku harus keluar uang lagi dong. Seribu lima ratus memang bukan uang yang terlalu besar sih. Tapi, aku kan sudah janji untuk disiplin dengan budget harian ku. Hmm.bagaimana ya?”
Aku sempat bingung untuk melangkah, apakah memilih disiplin terhadap budgetku, atau memberi kepada tukang sapu kereta itu. Namun pada akhirnya aku tak kuasa menahan gerak tangan kananku, yang sejurus kemudian telah memegang sekantong keripik pedas dan air mineral, persis seperti apa yang kubeli beberapa saat yang lalu. “Hmm..gak apa deh deh. Toh gak setiap saat aku mendapatkan kesempatan memberi ‘sesuatu’ pada orang-orang sepertinya, walau konsekuensinya sih, aku harus mengurangi budgetku hari esok dikarenakan telah digunakan hari ini. Bismillah… ”
Ucapan basmalah mengiringi perpindahan ‘snack’ yang kubeli untuk keduakalinya itu, menuju tadahan tangannya. Persis seperti yang kukira, ia tidak menolak dan langsung menerima pemberianku. Setelah mengucapkan terima kasih, ia memulai untuk mencoba menikmati rezeki Allah sore itu. Tangan kanan dan mulutnya sibuk berkoordinasi antara mengambil dan menyantap penganan keripik dan air mineral itu, sambil sesekali tangannya menyeka keringat yang mulai mengucur membasuhi kening dan mukanya. “Ahh.Subhanallah. Jadikan makan itu barakah baginya ya Allah… “, rasa haru dan suka menyeruak di hatiku, seiring datangnya kesejukan di jiwa tatkala melihat pemandangan yang jarang aku dapatkan itu, “Ya Allah…ia begitu menikmatinya”
18. 52 WIB “Diberitahukan kepada para calon penumpang kereta api serpong ekspres, anda dipersilahkan menukar karcis kereta ekspres anda dengan karcis kereta ekonomi. Silahkan naik ke loket 1.” Sekali lagi, pengumuman dari moncong pengeras suara stasiun kereta api menghardik aktivitas menungguku, namun kali ini dengan sedikit kernyitan didahi, “Apa… Apa maksud pengumuman tadi? Apakah pemberangkatan di batalkan, atau ada pergantian jenis kereta? Tapi.kalau harus naik kereta ekonomi, aku..aku..” Rasa penasaran yang masih berkecamuk sengaja kubiarkan sembari mencari info diloket 1 yang dimaksud. Mengenai kereta ekonomi, setahuku memang ada 1 pemberangkatan kereta ekonomi jurusan serpong, namun itupun masih harus menunggu sekitar 1 jam lagi (pemberangkatan pukul 19. 45, dan itupun belum terhitung waktu telatnya). Selain itu, perjalanan menggunakan kereta ekonomi dimalam hari memang menjadi pertimbangan khusus bagiku, lebih pada hal ‘keamanan’. Maka dari itu , aku lebih
memilih menggunakan kereta ekspres walau tarifnya lebih mahal
memilih menggunakan kereta ekspres walau tarifnya lebih mahal
“Maaf pak, ini bagaimana jadinya? Kami harus berganti kereta ekonomi?”, Pertanyaan inti langsung kuungkapkan kepada petugas loket 1 begitu aku tiba di sana
“Oh.nggak, bukan begitu. Kami mohon maaf sebelumnya karena kereta ekspres jurusan serpong, ACnya belum bisa diperbaiki. Namun begitu, kereta tersebut masih bisa dijalankan, walau tanpa fasilitas AC. Jadi bapak dan penumpang lainnya kami kenakan tarif kereta ekonomi untuk pemberangkatan kali ini”
“Oh.nggak, bukan begitu. Kami mohon maaf sebelumnya karena kereta ekspres jurusan serpong, ACnya belum bisa diperbaiki. Namun begitu, kereta tersebut masih bisa dijalankan, walau tanpa fasilitas AC. Jadi bapak dan penumpang lainnya kami kenakan tarif kereta ekonomi untuk pemberangkatan kali ini”
“Hah… Benarkah ini?!”, keterkejutan di hatiku menggumpal begitu saja tatkala mendengar kabar yang baru saja masuk ke telingaku. Aku memiliki alasan untuk bersikap demikian. Pertama, ini adalah pertamakalinya aku bisa menaiki kereta ekspres dengan tarif ekonomi, walau tanpa AC. Dan bagiku itu tidak terlalu bermasalah, mengingat perjalanan menuju rumahku hanya memakan waktu sekitar 40 – 60 menit. Dan yang kedua, ini yang menjadi ketakjubanku, aku UNTUNG!
kalau dihitung dari angka, perubahan tarif kereta ekspres menuju ekonomi menghasilkan selisih Rp 6. 500; dan apabila dikurangi pengeluaranku untuk pemuda tukang sapu tadi (Rp 1. 500;) maka aku masih mendapatkan Rp 5. 000; Itu baru dari segi angka. Dari sisi waktu, aku masih lebih beruntung karena tidak harus berganti tujuan menuju blok M, yang pastinya memakan waktu lebih lama lagi.
kalau dihitung dari angka, perubahan tarif kereta ekspres menuju ekonomi menghasilkan selisih Rp 6. 500; dan apabila dikurangi pengeluaranku untuk pemuda tukang sapu tadi (Rp 1. 500;) maka aku masih mendapatkan Rp 5. 000; Itu baru dari segi angka. Dari sisi waktu, aku masih lebih beruntung karena tidak harus berganti tujuan menuju blok M, yang pastinya memakan waktu lebih lama lagi.
“Subhanallah… Allahu Akbar… “, aku kembali tertegun membayangkan semua ini, sembari berusaha mempercayai apa yang baru saja terjadi.
“Ya Allah.pembalasanMu Engkau realisasikan saat itu juga. Padahal, sejujurnya aku tak pernah berpikir sampai sejauh itu. Aku tak pernah mengira bahwa uang yang ku keluarkan tadi, yang kugunakan untuk makan kecil pemuda itu, yang aku tidak berharap apa-apa darinya, Engkau balas berlipat-lipat, dan terjadi saat itu juga… Tanpa pernah aku menduganya. Terima kasih ya Allah… Alhamdulillah hirabbil ‘alamiin.”
“Ya Allah.pembalasanMu Engkau realisasikan saat itu juga. Padahal, sejujurnya aku tak pernah berpikir sampai sejauh itu. Aku tak pernah mengira bahwa uang yang ku keluarkan tadi, yang kugunakan untuk makan kecil pemuda itu, yang aku tidak berharap apa-apa darinya, Engkau balas berlipat-lipat, dan terjadi saat itu juga… Tanpa pernah aku menduganya. Terima kasih ya Allah… Alhamdulillah hirabbil ‘alamiin.”
Malam itu menjadi malam yang berkesan dan bermakna bagiku. Semoga, kesan dan makna itu juga dapat melekat & mengilhami kepada para pembaca, untuk tetap percaya kepada janji-janji yang telah Ia berikan dan istiqomah di jalanNya. Amiin…
“Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkah hartanya di jalan Allah), maka Allah akan melipat gandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. Dan Allah menyempitkan dan melapangkan (rezki) dan kepada-Nya lah kamu dikembalikan”
(QS 2: 245)
(QS 2: 245)
source: Denny Hermawan/judul asli 'Pembalasan' di Stasiun Kereta Api
Tidak ada komentar:
Posting Komentar