SOSOK Mbah Maridjan bukanlah orang berpendidikan. Namun, kearifannya sebagai “orang tua” - bukan disebabkan usianya yang 79 tahun, tetapi “orang tua” yang dalam idiom Jawa berarti linuwih atau memiliki daya lebih - menempatkan tokoh yang satu ini sering kali menjadi anutan banyak orang.
Sejak lahir sampai usianya setua sekarang, dia bermukim di lereng Merapi. Secara emosional dia merasa menjadi bagian dari Merapi. Secara kultural, Mbah Maridjan yang gemar menjalankan “laku prihatin dan tirakat” percaya, di Gunung Merapi ada penguasa yang disebut “bahureksa”. Setiap kali Gunung Merapi bergejolak, dimaknai sebagai aktivitas para “bahureksa” yang menguasai Gunung Merapi.
Sejak lahir sampai usianya setua sekarang, dia bermukim di lereng Merapi. Secara emosional dia merasa menjadi bagian dari Merapi. Secara kultural, Mbah Maridjan yang gemar menjalankan “laku prihatin dan tirakat” percaya, di Gunung Merapi ada penguasa yang disebut “bahureksa”. Setiap kali Gunung Merapi bergejolak, dimaknai sebagai aktivitas para “bahureksa” yang menguasai Gunung Merapi.
Sebagai seorang abdi dalem Keraton Yogyakarta dengan jabatan juru kunci, Mbah Maridjan juga menunjukkan nilai-nilai kesetiaan tinggi. Meskipun Gunung Merapi memuntahkan lava pijar dan awan panas wedhus gembel yang membahayakan manusia, dia bersikukuh tidak mau mengungsi. Sikapnya yang terkesan mbalelo itu, semata-mata sebagai wujud tanggung jawabnya terhadap tugas yang diamanatkan Ngarsa Dalem Sultan Hamengkubuwono.
Dalam percakapan yang sangat santai dengan “PR”, di rumahnya Dusun Kinahrejo, Desa Umbulharjo, Kec. Cangkringan, Kab. Sleman, beberapa hari sebelum Gunung Merapi meluncurkan wedhus gembelMbah Maridjan bertutur tentang banyak hal. Berbicara dengan bahasa Jawa kromo, Mbah Maridjan membuka percakapan.
Sambil menyodorkan buku tamu Si Mbah menunjukkan, selama bulan April hingga awal Mei saja tercatat 112 pengunjung yang tercantum di 16 halaman. Di antara nama-nama tamu itu, paling banyak adalah wartawan. Ada juga beberapa paranornal, di antaranya yang tergabung dalam paaguyuban paranornal “Songgo Buwono”. Tamu-tamu lainnya adalah dari lembaga asing, seperti Christine Vergues et Thierry dari Marseille Prancis, tokoh nasional Amien Rais dan lain-lain. Berikut wawancara dengan Mbah Maridjan.
Bagaimana menurut Embah, Gunung Merapi sebenarnya meletus atau tidak?
“Kula niki tiyang ‘kmpl”. Napa to ‘kmpl’ niku? ‘Kmpl’ niku komplo. Dados kula mboten ngertos Gunung Merapi badhe mbledos napa mboten. Awit Gunung Merapi punika wewados. Namung ingkang Maha Kuwaos ingkang priksa. Menawi kula mbukak wewados, ibaratipun mbukak lawangipun ingkang Maha Kuwaos. (Saya ini orang ‘kmpl’. Apa arti ‘kmpl’? ‘Kmpl’ itu singkatan dari ‘komplo’. Jadi saya tidak tahu Gunung Merapi akan meletus atau tidak. Itu rahasia yang Mahakuasa. Kalau saya buka rahasia, ibaratnya membuka pintu rahasia yang Mahakuasa),” tuturnya dalam nada jenaka.
Menurut dia, Gunung Merapi adalah pusarnya jagad di Tanah Jawa. Dia juga percaya Gunung Merapi adalah gunung yang hidup, yang akan senantiasa bertambah dan berubah, sehingga jika memang Gunung Merapi meletus berarti gunung berapi yang paling aktif di dunia itu sedang “berubah” atau “bertambah”. Menghadapi situasi tersebut, dia mengajak siapa saja memohon keselamatan kepada yang Mahakuasa agar terhindar dari bahaya.
“Permohonan” itu telah ditempuh melalui laku tirakat dan doa-doa dengan cara berjalan mengelilingi Dukuh Kinahrejo tiga putaran setiap malam. Mbah Maridjan juga berpuasa. Setiap hari hanya mengisap merokok dan berpuasa mutih (hanya makan sekepal nasi atau singkong tanpa garam) dan minum air tawar. Di samping itu, masyarakat Dukuh Kinahrejo diminta memasang sesaji tolak bala berupa “ketupat luar” yang ditempatkan di atas pintu. Ketupat dari janur kuning tersebut bermakna simbolis agar warga yang memasangnya “keluar” dari bencana.
Di dalam ketupat, Mbah Maridjan minta agar diisi garam dan daun sirih. Makna simbolisnya, “daun sirih” adalah lambang Gunung Merapi dan “garam” lambang dari Samudera Indonesia atau Laut Selatan. Keduanya dalam pandangan supranatural berada dalam satu poros imajiner dan merupakan kekuatan spiritual bagi Keraton Yogyakarta.
**
MBAH Maridjan adalah seorang muslim. Di ujung pekarangan rumahnya yang luas, dia membangun sebuah masjid dengan gaya arsitektur Jawa. Dia salat lima waktu secara teratur. Di sisi lain, Mbah Maridjan sebagai orang Jawa juga tetap menekuni kehidupan spiritual dengan cara nglakoni dan tirakat. Setelah terjadinya luncuran wedhus gembel pada Minggu (13/5) pagi, Mbah Maridjan seolah-olah menghilang. Selama dua hari dua malam, ternyata Mbah Maridjan berada di Paseban Srimanganti, salah satu lokasi ritual sesaji “labuhan” di lereng Merapi yang berjarak 2,5 kilometer dari puncak.
Dalam bahasa Mbah Maridjan yang bersahaja, dia menerjemahkan isyarat alam gejolak di Gunung Merapi karena “eyang” yang lenggah di Gunung Merapi sedang punya hajat membangun “keraton”. Mbah Maridjan yang pantang menggunakan istilah “Gunung Merapi meletus”, we dhus gembel atau istilah lain yang terkesan vulgar, menjelaskan, di saat eyang di Gunung Merapi punya hajat semua orang di lingkungan Merapi harus sabar, tabah dan tawakal. Di Gunung Merapi, menurut Mbah Maridjan, lenggah (bertahta) sejumlah penguasa, di antaranya Eyang Empu Romo, Eyang Empu Permadi dan Eyang Panembahan Sapujagad. Melalui simbolisasi pembersihan di lereng Gunung Merapi, dia bermaksud menyarankan kepada semua orang di kawasan Merapi agar membersihkan hati sehingga menjadi suci dan tidak berbuat macam-macam.
Mbah Maridjan menyebut ulah para penambang pasir yang menggunakan “mesin” (begu), termasuk yang harus bertobat agar tidak merusak alam lingkungan Merapi. Dia wanti-wanti minta agar “orang-orang yang bisa nulis latin” (maksudnya orang-orang berpendidikan) dan pengeruk pasir dengan begu, menghentikan sama sekali kegiatannya mengeksploitasi alam.
“Kalau Eyang Merapi sedang ewuh, bahayanya memang manglung (mengarah) ke selatan. Supaya kita semua terhindar dari bahaya, ya jangan merusak (alam). Kita harus memelihara. Kalau Gunung Merapi dipelihara, batu-batu itu akan menyingkir kok,” kisah Mbah Maridjan dalam bahasa Jawa yang tetap penuh makna simbolis.
Kapan Mbah Maridjan menjadi abdi dalem juru kunci Gunung Merapi? Bagaimana Embah mendapat jabatan tersebut?
“Saya menjadi juru kunci Gunung Merapi karena melanjutkan tugas orang tua saya yang dahulu sebagai abdi dalem Keraton Yogyakarta. Nama Bapak saya…. (Mbah Maridjan mendadak berhenti berbicara karena lupa nama pemberian Sultan Hamengkubuwono IX bagi bapaknya. Sejenak dia pergi dan mengambil map berisi “Serat Kekancingan Dalem Ngarsa Dalem Sultan Hamengkubuwono IX”). Nama pemberian Ngarsa Dalem sama dengan nama Bapak saya di serat kekancingan tersebut, yaitu Suraksohargo.”
Mbah Maridjan memang tidak hanya mewarisi jabatan abdi dalem juru kunci Gunung Merapi dari almarhum Mas Penewu Suraksohargo. Dia juga memakai nama Suraksohargo - yang arti harfiahnya “menjaga gunung” - sepeninggal bapaknya pada tahun 1982. Sebelumnya, pada tahun 70-an Mbah Maridjan telah sering mewakili ayahnya melaksanakan upacara ritual labuhan di puncak Merapi, pada peringatan jumenengan (naik takhta) Sultan HB setiap tanggal 30 Rejeb tahun Saka.
Pada awalnya, Mbah Maridjan memangku jabatan juru kunci Gunung Merapi dengan pangkat Mantri Juru Kunci. Setelah 13 tahun lamanya, berdasarkan Serat Kekancingan Dalem Ngarsa Dalem Sultan Hamengkubuwono X tanggal 3 Maret 1995, pangkat Mbah Maridjan dinaikkan menjadi Mas Penewu Juru Kunci sampai sekarang.
Dimasa-masa awal menjadi abdi dalem juru kunci Gunung Merapi, Mbah Maridjan mendapat gaji sebesar Rp 3.710,- per bulan. Sejak pangkatnya naik menjadi penewu, gajinya juga meningkat menjadi Rp 5.600,00 per bulan. Mbah Maridjan yang gemar guyonan dengan bahasa “plesetan” khas Yogyakarta, menyebut gajinya dengan “lima juta enam ratus ribu rupiah”. Gaji yang sebenarnya tidak cukup untuk membeli sebungkus rokok Kansas kegemarannya. Itu sebabnya, Mbah Maridjan terpaksa harus mengambil gaji setiap tiga bulan sekali, supaya uang gajinya tidak habis untuk ongkos naik bus dari keraton ke Dukuh Kinahrejo.
Mbah Maridjan justru menunjukkan nilai-nilai kearifan yang luar biasa dalam memaknai pendapatan yang tidak berarti tersebut. “Kalau orang hanya melihat mereka yang berpendapatan besar, pasti dia akan selalu diliputi perasaan serba tidak puas. Sebaliknya, kalau orang mau melihat mereka yang kecil-kecil, berapapun besarnya gaji akan membuat kehidupan terasa nikmat. Saya lihat banyak kok orang yang berpenghasilan kecil. Jadi jangan melihat ke atas, lihatlah ke bawah.”
Kenapa saat Sultan meminta warga di lereng Merapi mengungsi, Mbah Maridjan memilih tetap tinggal di Kinahrejo?
“Perintah mengungsi itu kan disampaikan Kanjeng Sultan Hamengkubuwono sebagai Gubernur. Ngarsa Dalem Kanjeng Sultan sendiri belum paring dhawuh. Harus dibedakan, mana Gubernur dan mana Ngarsa Dalem karena berbeda aturannya. Sampai sekarang belum ada dhawuh dari keraton.”
Entah disadari atau tidak, secara kebetulan lokasi permukiman Mbah Maridjan di Dukuh Kinahrejo relatif terlindung dari ancaman awan panas Gunung Merapi, karena berada di balik tebing yang disebut geger boyo (punggung buaya). Tebing yang dari kejauhan tampak seperti punggung buaya dengan kepala mengarah ke atas itu, dianggap warga lereng Merapi sebagai “benteng pertahanan” dari serangan awan panas wedhus gembel.
“Saya tidak khawatir akan terjadi apa-apa. Eyang yang lenggah di Merapi akan menjaga orang-orang yang tulus, tidak berbuat macam-macam. Saya akan tetap di sini (maksudnya tetap di rumah dan tidak mengungsi), supaya saya bisa memohon keselamatan untuk banyak orang,” ujarnya. Tugas pokok Mbah Maridjan sebagai abdi dalem juru kunci Gunung Merapi, adalah melaksanakan upacara ritual labuhan di pelataran Pos II pendakian yang disebut Paseban Labuhan Dalem yang berjarak satu kilometer dari puncak Merapi. Di samping itu, baik Paseban Srimanganti maupun Paseban Labuhan Dalem yang menjadi tanggung jawabnya, selalu dibersihkan pada saat-saat tertentu, seperti tatkala Mbah Maridjan selesai melaksanakan laku tirakat dua hari di Paseban Srimanganti. Setiap kali melaksanakan tugas upacara ritual labuhan, Mbah Maridjan dibantu 13 orang yang siap menggantikan tugas sebagai juru kunci jika kelak keturunan Mbah Maridjan tidak ada yang mewarisi tugas tersebut.
Bertolak dari kesetiaan akan tanggungjawabnya itu pula, barangkali menjadi salah satu alasan Mbah Maridjan menolak meninggalkan Dukuh Kinahrejo tanpa titah Sri Sultan Hamengkubuwono X. Sewaktu Wakil Presiden Jusuf Kalla meminta warga lereng Merapi di daerah berbahaya agar mengungsi, Mbah Maridjan berujar masih dengan bahasa Jawa yang kental, “Sebelum menyalahkan orang lain, seharusnya orang menyalahkan diri sendiri dahulu. Pak Jusuf Kalla benar. Tetapi, kalau meminta warga mengungsi, ya tolonglah pemerintah memberi uang kepada warga di pengungsian.”
Mbah Maridjan yang dilahirkan pada tahun 1927, menyatakan tidak tahu persis - seperti saat menyatakan lupa nama bapaknya - hari dan tanggal kelahirannya. Dari hasil pernikahannya dengan Mbah Ponirah (73), tetua Dukuh Kinahrejo itu mendapatkan 10 orang anak, yang tersisa tinggal lima orang karena lima lainnya meninggal dunia. Anak-anak Mbah Maridjan yang bernama Panut Utomo (50), Sutrisno (45), Lestari(40), Sulastri (36), dan Widodo (30), ada yang memilih tinggal di Yogyakarta dan ada pula yang di Jakarta. Mereka itu telah memberi Mbah Maridjan 11 cucu dan 6 buyut. Di antara anak-anak Mbah Maridjan, juga ada yang siap mewarisi tugas sebagai juru kunci Gunung Merapi dan kini telah menjadi abdi dalem Keraton Yogyakarta.
Mengenal sekilas Mbah Maridjan dengan pandangan kultural dan tradisional yang melekat padanya, barangkali akan tampak potret sosok orang Jawa dengan kearifannya. Mbah Maridjan sebagai juru kunci Gunung Merapi, lebih banyak melihat fenomena menggunakan naluri yang merujuk pada kebiasaan niteni. Keyakinannya tentang ancaman bahaya letusan Gunung Merapi yang hampir tidak pernah merambah Dukuh Kinahrejo, memberikan pelajaran niteni bahwa lingkungan alam di sisi selatan Gunung Merapi masih merupakan benteng pertahanan bagi warganya.
Apakah dalam sisa-sisa hidupnya Mbah Maridjan masih akan mengalami fenomena alam letusan Gunung Merapi dan dia sebagai “referensinya”? Wallahualam bisawab (Tok Suwarto).***
Dalam percakapan yang sangat santai dengan “PR”, di rumahnya Dusun Kinahrejo, Desa Umbulharjo, Kec. Cangkringan, Kab. Sleman, beberapa hari sebelum Gunung Merapi meluncurkan wedhus gembelMbah Maridjan bertutur tentang banyak hal. Berbicara dengan bahasa Jawa kromo, Mbah Maridjan membuka percakapan.
Sambil menyodorkan buku tamu Si Mbah menunjukkan, selama bulan April hingga awal Mei saja tercatat 112 pengunjung yang tercantum di 16 halaman. Di antara nama-nama tamu itu, paling banyak adalah wartawan. Ada juga beberapa paranornal, di antaranya yang tergabung dalam paaguyuban paranornal “Songgo Buwono”. Tamu-tamu lainnya adalah dari lembaga asing, seperti Christine Vergues et Thierry dari Marseille Prancis, tokoh nasional Amien Rais dan lain-lain. Berikut wawancara dengan Mbah Maridjan.
Bagaimana menurut Embah, Gunung Merapi sebenarnya meletus atau tidak?
“Kula niki tiyang ‘kmpl”. Napa to ‘kmpl’ niku? ‘Kmpl’ niku komplo. Dados kula mboten ngertos Gunung Merapi badhe mbledos napa mboten. Awit Gunung Merapi punika wewados. Namung ingkang Maha Kuwaos ingkang priksa. Menawi kula mbukak wewados, ibaratipun mbukak lawangipun ingkang Maha Kuwaos. (Saya ini orang ‘kmpl’. Apa arti ‘kmpl’? ‘Kmpl’ itu singkatan dari ‘komplo’. Jadi saya tidak tahu Gunung Merapi akan meletus atau tidak. Itu rahasia yang Mahakuasa. Kalau saya buka rahasia, ibaratnya membuka pintu rahasia yang Mahakuasa),” tuturnya dalam nada jenaka.
Menurut dia, Gunung Merapi adalah pusarnya jagad di Tanah Jawa. Dia juga percaya Gunung Merapi adalah gunung yang hidup, yang akan senantiasa bertambah dan berubah, sehingga jika memang Gunung Merapi meletus berarti gunung berapi yang paling aktif di dunia itu sedang “berubah” atau “bertambah”. Menghadapi situasi tersebut, dia mengajak siapa saja memohon keselamatan kepada yang Mahakuasa agar terhindar dari bahaya.
“Permohonan” itu telah ditempuh melalui laku tirakat dan doa-doa dengan cara berjalan mengelilingi Dukuh Kinahrejo tiga putaran setiap malam. Mbah Maridjan juga berpuasa. Setiap hari hanya mengisap merokok dan berpuasa mutih (hanya makan sekepal nasi atau singkong tanpa garam) dan minum air tawar. Di samping itu, masyarakat Dukuh Kinahrejo diminta memasang sesaji tolak bala berupa “ketupat luar” yang ditempatkan di atas pintu. Ketupat dari janur kuning tersebut bermakna simbolis agar warga yang memasangnya “keluar” dari bencana.
Di dalam ketupat, Mbah Maridjan minta agar diisi garam dan daun sirih. Makna simbolisnya, “daun sirih” adalah lambang Gunung Merapi dan “garam” lambang dari Samudera Indonesia atau Laut Selatan. Keduanya dalam pandangan supranatural berada dalam satu poros imajiner dan merupakan kekuatan spiritual bagi Keraton Yogyakarta.
**
MBAH Maridjan adalah seorang muslim. Di ujung pekarangan rumahnya yang luas, dia membangun sebuah masjid dengan gaya arsitektur Jawa. Dia salat lima waktu secara teratur. Di sisi lain, Mbah Maridjan sebagai orang Jawa juga tetap menekuni kehidupan spiritual dengan cara nglakoni dan tirakat. Setelah terjadinya luncuran wedhus gembel pada Minggu (13/5) pagi, Mbah Maridjan seolah-olah menghilang. Selama dua hari dua malam, ternyata Mbah Maridjan berada di Paseban Srimanganti, salah satu lokasi ritual sesaji “labuhan” di lereng Merapi yang berjarak 2,5 kilometer dari puncak.
Dalam bahasa Mbah Maridjan yang bersahaja, dia menerjemahkan isyarat alam gejolak di Gunung Merapi karena “eyang” yang lenggah di Gunung Merapi sedang punya hajat membangun “keraton”. Mbah Maridjan yang pantang menggunakan istilah “Gunung Merapi meletus”, we dhus gembel atau istilah lain yang terkesan vulgar, menjelaskan, di saat eyang di Gunung Merapi punya hajat semua orang di lingkungan Merapi harus sabar, tabah dan tawakal. Di Gunung Merapi, menurut Mbah Maridjan, lenggah (bertahta) sejumlah penguasa, di antaranya Eyang Empu Romo, Eyang Empu Permadi dan Eyang Panembahan Sapujagad. Melalui simbolisasi pembersihan di lereng Gunung Merapi, dia bermaksud menyarankan kepada semua orang di kawasan Merapi agar membersihkan hati sehingga menjadi suci dan tidak berbuat macam-macam.
Mbah Maridjan menyebut ulah para penambang pasir yang menggunakan “mesin” (begu), termasuk yang harus bertobat agar tidak merusak alam lingkungan Merapi. Dia wanti-wanti minta agar “orang-orang yang bisa nulis latin” (maksudnya orang-orang berpendidikan) dan pengeruk pasir dengan begu, menghentikan sama sekali kegiatannya mengeksploitasi alam.
“Kalau Eyang Merapi sedang ewuh, bahayanya memang manglung (mengarah) ke selatan. Supaya kita semua terhindar dari bahaya, ya jangan merusak (alam). Kita harus memelihara. Kalau Gunung Merapi dipelihara, batu-batu itu akan menyingkir kok,” kisah Mbah Maridjan dalam bahasa Jawa yang tetap penuh makna simbolis.
Kapan Mbah Maridjan menjadi abdi dalem juru kunci Gunung Merapi? Bagaimana Embah mendapat jabatan tersebut?
“Saya menjadi juru kunci Gunung Merapi karena melanjutkan tugas orang tua saya yang dahulu sebagai abdi dalem Keraton Yogyakarta. Nama Bapak saya…. (Mbah Maridjan mendadak berhenti berbicara karena lupa nama pemberian Sultan Hamengkubuwono IX bagi bapaknya. Sejenak dia pergi dan mengambil map berisi “Serat Kekancingan Dalem Ngarsa Dalem Sultan Hamengkubuwono IX”). Nama pemberian Ngarsa Dalem sama dengan nama Bapak saya di serat kekancingan tersebut, yaitu Suraksohargo.”
Mbah Maridjan memang tidak hanya mewarisi jabatan abdi dalem juru kunci Gunung Merapi dari almarhum Mas Penewu Suraksohargo. Dia juga memakai nama Suraksohargo - yang arti harfiahnya “menjaga gunung” - sepeninggal bapaknya pada tahun 1982. Sebelumnya, pada tahun 70-an Mbah Maridjan telah sering mewakili ayahnya melaksanakan upacara ritual labuhan di puncak Merapi, pada peringatan jumenengan (naik takhta) Sultan HB setiap tanggal 30 Rejeb tahun Saka.
Pada awalnya, Mbah Maridjan memangku jabatan juru kunci Gunung Merapi dengan pangkat Mantri Juru Kunci. Setelah 13 tahun lamanya, berdasarkan Serat Kekancingan Dalem Ngarsa Dalem Sultan Hamengkubuwono X tanggal 3 Maret 1995, pangkat Mbah Maridjan dinaikkan menjadi Mas Penewu Juru Kunci sampai sekarang.
Dimasa-masa awal menjadi abdi dalem juru kunci Gunung Merapi, Mbah Maridjan mendapat gaji sebesar Rp 3.710,- per bulan. Sejak pangkatnya naik menjadi penewu, gajinya juga meningkat menjadi Rp 5.600,00 per bulan. Mbah Maridjan yang gemar guyonan dengan bahasa “plesetan” khas Yogyakarta, menyebut gajinya dengan “lima juta enam ratus ribu rupiah”. Gaji yang sebenarnya tidak cukup untuk membeli sebungkus rokok Kansas kegemarannya. Itu sebabnya, Mbah Maridjan terpaksa harus mengambil gaji setiap tiga bulan sekali, supaya uang gajinya tidak habis untuk ongkos naik bus dari keraton ke Dukuh Kinahrejo.
Mbah Maridjan justru menunjukkan nilai-nilai kearifan yang luar biasa dalam memaknai pendapatan yang tidak berarti tersebut. “Kalau orang hanya melihat mereka yang berpendapatan besar, pasti dia akan selalu diliputi perasaan serba tidak puas. Sebaliknya, kalau orang mau melihat mereka yang kecil-kecil, berapapun besarnya gaji akan membuat kehidupan terasa nikmat. Saya lihat banyak kok orang yang berpenghasilan kecil. Jadi jangan melihat ke atas, lihatlah ke bawah.”
Kenapa saat Sultan meminta warga di lereng Merapi mengungsi, Mbah Maridjan memilih tetap tinggal di Kinahrejo?
“Perintah mengungsi itu kan disampaikan Kanjeng Sultan Hamengkubuwono sebagai Gubernur. Ngarsa Dalem Kanjeng Sultan sendiri belum paring dhawuh. Harus dibedakan, mana Gubernur dan mana Ngarsa Dalem karena berbeda aturannya. Sampai sekarang belum ada dhawuh dari keraton.”
Entah disadari atau tidak, secara kebetulan lokasi permukiman Mbah Maridjan di Dukuh Kinahrejo relatif terlindung dari ancaman awan panas Gunung Merapi, karena berada di balik tebing yang disebut geger boyo (punggung buaya). Tebing yang dari kejauhan tampak seperti punggung buaya dengan kepala mengarah ke atas itu, dianggap warga lereng Merapi sebagai “benteng pertahanan” dari serangan awan panas wedhus gembel.
“Saya tidak khawatir akan terjadi apa-apa. Eyang yang lenggah di Merapi akan menjaga orang-orang yang tulus, tidak berbuat macam-macam. Saya akan tetap di sini (maksudnya tetap di rumah dan tidak mengungsi), supaya saya bisa memohon keselamatan untuk banyak orang,” ujarnya. Tugas pokok Mbah Maridjan sebagai abdi dalem juru kunci Gunung Merapi, adalah melaksanakan upacara ritual labuhan di pelataran Pos II pendakian yang disebut Paseban Labuhan Dalem yang berjarak satu kilometer dari puncak Merapi. Di samping itu, baik Paseban Srimanganti maupun Paseban Labuhan Dalem yang menjadi tanggung jawabnya, selalu dibersihkan pada saat-saat tertentu, seperti tatkala Mbah Maridjan selesai melaksanakan laku tirakat dua hari di Paseban Srimanganti. Setiap kali melaksanakan tugas upacara ritual labuhan, Mbah Maridjan dibantu 13 orang yang siap menggantikan tugas sebagai juru kunci jika kelak keturunan Mbah Maridjan tidak ada yang mewarisi tugas tersebut.
Bertolak dari kesetiaan akan tanggungjawabnya itu pula, barangkali menjadi salah satu alasan Mbah Maridjan menolak meninggalkan Dukuh Kinahrejo tanpa titah Sri Sultan Hamengkubuwono X. Sewaktu Wakil Presiden Jusuf Kalla meminta warga lereng Merapi di daerah berbahaya agar mengungsi, Mbah Maridjan berujar masih dengan bahasa Jawa yang kental, “Sebelum menyalahkan orang lain, seharusnya orang menyalahkan diri sendiri dahulu. Pak Jusuf Kalla benar. Tetapi, kalau meminta warga mengungsi, ya tolonglah pemerintah memberi uang kepada warga di pengungsian.”
Mbah Maridjan yang dilahirkan pada tahun 1927, menyatakan tidak tahu persis - seperti saat menyatakan lupa nama bapaknya - hari dan tanggal kelahirannya. Dari hasil pernikahannya dengan Mbah Ponirah (73), tetua Dukuh Kinahrejo itu mendapatkan 10 orang anak, yang tersisa tinggal lima orang karena lima lainnya meninggal dunia. Anak-anak Mbah Maridjan yang bernama Panut Utomo (50), Sutrisno (45), Lestari(40), Sulastri (36), dan Widodo (30), ada yang memilih tinggal di Yogyakarta dan ada pula yang di Jakarta. Mereka itu telah memberi Mbah Maridjan 11 cucu dan 6 buyut. Di antara anak-anak Mbah Maridjan, juga ada yang siap mewarisi tugas sebagai juru kunci Gunung Merapi dan kini telah menjadi abdi dalem Keraton Yogyakarta.
Mengenal sekilas Mbah Maridjan dengan pandangan kultural dan tradisional yang melekat padanya, barangkali akan tampak potret sosok orang Jawa dengan kearifannya. Mbah Maridjan sebagai juru kunci Gunung Merapi, lebih banyak melihat fenomena menggunakan naluri yang merujuk pada kebiasaan niteni. Keyakinannya tentang ancaman bahaya letusan Gunung Merapi yang hampir tidak pernah merambah Dukuh Kinahrejo, memberikan pelajaran niteni bahwa lingkungan alam di sisi selatan Gunung Merapi masih merupakan benteng pertahanan bagi warganya.
Apakah dalam sisa-sisa hidupnya Mbah Maridjan masih akan mengalami fenomena alam letusan Gunung Merapi dan dia sebagai “referensinya”? Wallahualam bisawab (Tok Suwarto).***
source: pikiran rakyat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar